Pengelolaan perikanan berkelanjutan meliputi:
Manajemen Sumberdaya Perikanan
Sebagaimana diketahui bahwa sumberdaya perikanan adalah sumberdaya yang dapat pulih (renewable) yang berarti bahwa apabila tidak terganggu, maka secara alami kehidupan akan terjaga keseimbangannya, dan akan sia-sia bila tidak dimanfaatkan. Apabila pemanfaatannya tidak seimbang dengan daya pulihnya maka sumberdaya tersebut dapat terdegradasi dan terancam kelestariannya, yang sering dikenal sebagai tangkap berlebih (overfishing). Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kondisi tangkap lebih maka perlu adanya pengelolaan sumberdaya perikanan.
Prinsip dasar yang mendasari ide pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying capacity) alamiahnya (Saputra, 2009). Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass.
1. Pendekatan Pengelolaan Perikanan
Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Secara implisit pertanyaan tersebut mengandung dua makna, yaitu makna ekonomi dan makna konservasi atau biologi. Dengan demikian, pemanfaatan optimal sumberdaya ikan mau tidak mau harus mengakomodasi kedua disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bio-ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
a. Pengaturan Musim Penangkapan Ikan (MPI)
Manajemen sumberdaya perikanan melalui pendekatan penutupan musim penangkapan, memerlukan dukungan semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya untuk memiliki rasa kepedulian dan disiplin yang tinggi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undanganyang ada. Sebagaimana dikatakan Nikijuluw (2002), bahwa penutupan musim penangkapan merupakan pendekatan manajemen yang umumnya dilakukan di negara yang sistem penegakan hukumnya sudah maju.
Beddington dan Retting (1983) mengatakan, paling tidak ada dua bentuk penutupan musim penangkapan ikan. Pertama, menutup musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan dapat memijah dan berkembang. Contoh dari bentuk ini adalah penangkapan ikan teri (anchovy) di Peru yang biasanya menutup kegiatan penangkapan pada awal tahun ketika juvenil dan ikan berukuran kecil sangat banyak di perairan. Kedua, penutupan kegiatan penangkapan ikan karena sumberdaya ikan telah mengalami degradasi, dan ikan yang ditangkap semakin sedikit.
b. Penutupan Daerah Penangkapan Ikan
Pendekatan penutupan daerah penangkapan ikan berarti menghentikan kegiatan penangkapan ikan disuatu perairan pada musim tertentu atau secara permanen. Pendekatan ini dilakukan seiring dengan penutupan musim penangkapan. Penutupan daerah penangkapan dalam jangka panjang biasanya dilakukan dengan usaha-usaha konservasi jenis ikan tertentu yang memang dalam status terancam kepunahan. Hal ini juga dilakukan secara permanen atau sementara untuk menutup kegiatan penangkapan ikan di daerah tempat ikan berpijah (spawning ground) atau daerah asuhan (nursery ground).
c. Selektifitas Alat Tangkap
Pendekatan manajemen sumberdaya perikanan ini dilaksanakan melalui penggunaan alat penangkapan ikan yang tinggi selektifitasnya dan ukuran alat tangkap yang sesuai. Beberapa contoh pendekatan ini adalah pembatasan minimum terhadap ukuran mata jaring (mesh size), pembatasan minimum ukuran mata pancing, serta pembatasan ukuran mulut perangkap pada kondisi terbuka.
Masalah utama yang dihadapi dalam penerapan kebijakan ini adalah tingginya biaya pelaksanaan, pengawasan, pemantauan atau pengendalian. Disamping itu juga diperlukan adanya personil perikanan yang memiliki kemampuan teknis dalam bertindak cepat di lapangan untuk menentukan jenis dan skala alat tangkap yang digunakan.
d. Pelarangan Alat Tangkap
Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu, yang dilakukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif, atau pertimbangan lain yang bertujuan untukmelindungi nelayan kecil/tradisional.
Cara-cara penangkapan ikan yang dewasa ini sudah lazim dilarang adalah penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bahan peledak.
e. Kuota Penangkapan Ikan
Kuota penangkapan ikan adalah salah satu cara pendekatan dalam manajemen sumberdaya perikanan, yaitu pola manajemen rasionalisasi yang dicapai melalui pemberian hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkapikan sejumlah tertentu dalam suatu perairan.
Ada tiga cara dalam mengimplementasikan pendekatan TAC, yaitu :
1) Penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan atau perairan tertentu.
2) Membagi TAC kepada setiap nelayan, kapal, atau armada dengan keberpihakan pemerintah kepada nelayan atau kapal tertentu atas dasar keadilan, sehingga perbedaan/kesenjangan pendapatan antar nelayandapat diperkecil.
3) Membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga TAC tidak terlampaui. Cara ini secara ekonomis tidak efisien serta tidak akurat karena kesulitan dalam pengaturan dan memprediksi jumlah ikan yang tertangkap setiap kapal, akibatnya seringkali TAC terlampaui.
f. Pengendalian Upaya Penangkapan Ikan
Pengendalian upaya penangkapan adalah salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil tangkapan, kinerja ekonomi industri perikanan melalui pengurangan upaya atau kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan. Pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam mengendalikan upaya penangkapan ikan adalah penentuan jumlah unit penangkapan ikan yang diperbolehkan melalui pengaturan perijinan.
2. Tujuan Pengelolaan Perikanan
Tujuan pengelolaan seperti dikemukakan diatas adalah pemanfaatan dalam jangka panjang atas sumberdya perikanan secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan pendekatan proaktif dan berusaha secara aktif menemukan cara untuk mengoptimalkan keuntungan ekonomi dan social dari sumberdaya yang tersedia.
a. Maximum Sustainable Yield (MSY)
MSY adalah hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu perikanan. Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana. MSY memiliki beberapa keuntungan :
1) Konsep ini didasarkan pada gambaran yang sederhana dan mudah dimengerti atas reaksi suatu stok ikan terhadap penangkapan. Setiap nelayan akan memahami bahwa dari stok berukuran kecil, dan demikian juga sebaliknya.
2) MSY ditentukan dengan suatu ukuran fisik yang sederhana, yakni berat atau jumlah ikan yang ditangkap, sehingga menghindarkan perbedaan-perbedaan dalam wilayah suatu negara ataupun antar negara, dibandingkan dengan kriteria lainnya (misalnya harga hasil tangkapan atau penurunan biaya operasi).
Dibalik kelebihan-kelebihan tersebut sebenarnya terdapat beberapa kelemahan mendasar yaitu bahwa konsep ini tidak cukup memiliki dasar berpijak yang cukup kuat. Banyak stok ikan yang sifat dinamikanya tidak dapat dilukiskan dengan gambaran yang demikian sederhana, atau dapat ditentukan dengan mudah, sehingga sangat sulit menentukan letak MSY dari sumberdaya tersebut. Selain itu konsep ini tidak dapat menampung berbagai kompleksitas seperti interaksi suatu populasi dengan populasi-populasi lainnya, adanya struktur umur dalam populasi, adanya fluktuasi rekrutmen, dan lain-lain.
b. Maximum Economic Yield (MEY)
Pengkajian secara teoritis telah menyimpulkan untuk mengganti MSY dengan pendekatan Maximum Economic Yield (MEY), atau Maximum Rent. Net Economic Yield cenderung menjadi nol (0) dalam suatu sumberdaya perikanan yang tidak dikelola, mungkin menjadi sangat kecil pada saat penangkapan berada pada tingkat MSY, dan akan mempunyai nilai maksimum pada suatu tingkat upaya sedikit lebih kecil dari pada nilai yang menghasilkan hasil tangkapan yang terbesar.
Beberapa keuntungan penggunaan model MEY sebagai tujuan pengelolaan, selain yang telah disebutkan juga model ini sangat fleksibel dan dapat diadaptasikan untuk analisis cost and benefit bagi nelayan komersial, rekreasional, para pengolah, konsumen, dan lain-lain, yang kegiatan usahanya berkaitan dengan perikanan. Selain itu konsep ini dapat diaplikasikan terhadap setiap model biologi, dan berbeda dengan konsep MSY, MEY tiodak berdasarkan konsep ekuilibrium.
Kelemahan yang paling menonjol dari penggunaan net economic yield sebagai tujuan pengelolaan ialah bahwa model ini tergantung pada harga ikan yang tertangkap serta satuan biaya penangkapan yang bervariasi dari tahun ke tahun, dari negara ke negara. Oleh karena itu, net economic yield tidak memberikan nilai pasti yang tetap untuk tujuan suatu pengelolaan.
c. Optimum Sustainable Yield (OSY)
Istilah Optimum Sustainable Yield (OSY) dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mempertimbangkan segala keuntungan dan kerugian yang sering digolongkan ke dalam biologi, ekonomi, hukum (legal), sosial dan politik. Pertimbangan sosial menjadi salah satu kunci dalam tujuan pengelolaan dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dipahami karena hasil ekonomi yang optimal hanya akan bermakna jika diikuti oleh keuntungan maksimal secara sosial berupa pengurangan angka pengangguran atau penyediaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan resolusi konflik.
3. Pertimbangan Pengelolaan Perikanan
Seandainya sumberdaya hayati laut bukan tidak terbatas dan bukan tidak terusakkan, maka kita dapat saja membiarkan manusia untuk memanfaatkannya dan menyalahgunakan pemanfaatan itu dengan cara semena-mena.Produksi dan potensi perikanan dibatasi oleh sejumlah faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam biologi, ekologi dan lingkungan, teknologi, sosial, kultural dan ekonomi.
a. Pertimbangan Biologi
Sebagai populasi atau komunitas yang hidup, sumberdaya hayati laut mampu membarui dirinya melalui proses pertumbuhan dalam ukuran (panjang) dan massa (bobot) individu selain pertambahan terhadap populasi atau komunitas melalui reproduksi (yang biasa disebut dalam dunia perikanan sebagai rekrutmen).
Dalam populasi yang tidak dieksploitasi, mortalitas total mencakup mortalitas alami yang terdiri dari proses-proses seperti pemangsaan, penyakit, dan kematian melalui perubahan-perubahan drastisdari lingkungan dan lain-lain. Dalam populasi yang dieksploitasi, mortalitas total terdiri dari mortalitas alami plus mortalitas penangkapan. Tugas utama dari pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang sedang dikelola.
b. Pertimbangan Ekologi dan Lingkungan
Kelimpahan dan dinamika populasi ikan mempunyai peranan penting dalam perikanan tetapi populasi akuatik tidak hidup dalam isolasi. Mereka menjadi salah satu komponen ekosistem yang rumit, terdiri dari komponen biologi yang mungkin memangsa, dimangsa, atau berkompetisi dengan stok atau populasi tertentu. Komponen fisik ekosistem, seperti air itu sendiri, substrat, masukan air tawar atau nutrient atau proses non-biologi lainnya mungkin juga menjadi sangat penting dalam pertimbangan ini.
Lingkungan dari ikan jarang bersifat statis dan kondisi lingkungan akuatik dapat berubah secara nyata menurut waktu, seperti pasang surut, suhu air, dan lain-lain. Perubahan lingkungan seperti itu mempengaruhi dinamika dari populasi ikan, pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas alami atau kombinasi dari itu semua.
c. Pertimbangan Sosial, Budaya, dan Kelembagaan
Populasi manusia dan masyarakat bersifat dinamis seperi halnya populasi biologi lainnya. Selain itu perubahan sosial berlangsungterus menerus dalam skala yang berbeda, dipengaruhi oleh perubahan dalam cuaca, lapangan pekerjaan, kondisi politik, penawaran dan permintaan produk perikanan, dan faktor-faktor lainnya. Perubahan seperti itu mempengaruhi efektifitas dari strategi pengelolaan dan oleh sebab itu harus dipertimbangkan dan diakomodasi.
Kendala social utama dalam pengelolaan perikanan adalah bahwa masyarakat dan perilakunya tidak mudah ditransformasikan. Keluarga dan komunitas nelayan mungkin tidak akan bersedia pindah ke pekerjaan lainnya, atau ketempat jauh dari rumah mereka yang bila terjadi surplus kapasitas dalam perikanan, meskipun kualitas hidup mereka akan mengalami penurunan sebagai akibat sumberdaya yang menipis atau rusak. Disamping itu, ketersediaan lapangan pekerjaan bagi mereka juga tidak tersedia secara memadai.
d. Pertimbangan Ekonomi
Kekuatan pasar sangat berpengaruh terhadap pengelolaan perikanan. Selain itu pengelolaan perikanan masih sering dihadapkan pada persoalan perikanan akses terbuka (open acces), dimana setiap orang diperbolehkan masuk ke dalamusahaperikanan. Dibawah keadaan seperti itu orang akan terus masuk ke perikanan sampai keuntungan dariusahaperikanan sedemikian rendah, sehingga tidak lagi menarik bagi pelaku usaha baru (new entrance). Akibat yang tidak dapat dielakkan dari usaha perikanan akses terbuka adalah hilangnya keuntungan sehingga mengarah kepada tidak efisiensi secara ekonomi, dan jika tidak dapat ditegakkan tindakan pengelolaan yang efektif, akan terjadi over exploitation.
Sumber: BPPP TEGAL