Pukat harimau, atau trawl, adalah alat penangkap ikan yang kontroversial dan telah menimbulkan konflik serius di kalangan nelayan di Sumatera Utara. Alat ini telah menyebabkan kematian, cedera, dan kerusakan lingkungan yang signifikan. Artikel ini akan membahas secara mendetail sejarah, dampak, dan upaya penyelesaian konflik yang dipicu oleh penggunaan pukat harimau di perairan Sumatera Utara.
Sejarah dan Dampak Penggunaan Pukat Harimau
Sejak tahun 1983, sedikitnya 51 nelayan di Sumatera Utara tewas akibat konflik yang dipicu oleh operasi pukat harimau. Selain itu, 15 nelayan mengalami cacat seumur hidup. Ketua Serikat Nelayan Sumut (KSNS), Lahmudin Tampubolon, mengungkapkan bahwa bentrok di laut akibat pukat harimau telah berlangsung lebih dari 20 tahun dan terus dilaporkan kepada pemerintah.
Insiden Berdarah Akibat Pukat Harimau
Korban dari konflik ini tidak hanya berasal dari nelayan tradisional, tetapi juga dari pihak pemilik pukat harimau. Di Pantai Labu, misalnya, sedikitnya 16 orang menjadi korban. Beberapa kasus lainnya meliputi:
- Gambus Laut, Batubara (30 Juni 2004): Sebanyak sembilan orang tewas akibat konflik pukat harimau.
- Teluk Mengkudu, Serdang Bedagai (2007): Satu korban tewas dan cacat seumur hidup.
- Sialang Buah, Serdang Bedagai (2008): Tidak ada korban jiwa, tetapi konflik tetap terjadi.
Penyebab Konflik dan Dampak Lingkungan
Konflik ini terutama disebabkan oleh kerugian yang dialami nelayan tradisional akibat operasi pukat harimau. Jaring nelayan tradisional seringkali koyak, terumbu karang hancur, dan kapal pukat harimau sering bertabrakan dengan perahu nelayan tradisional. Diperkirakan terdapat sekitar 300 unit pukat harimau di setiap kabupaten pesisir dan sekitar 500 unit di Belawan yang beroperasi.
Konflik dengan Penegak Hukum
Selain konflik antar nelayan, masalah juga timbul antara nelayan dan penegak hukum. Di Kabupaten Langkat, misalnya, 12 nelayan ditahan karena menebang bakau di kawasan hutan produksi terbatas. Kasus ini menimbulkan protes dari warga setempat karena ketidakadilan dalam penegakan hukum. Sementara perusahaan besar bebas membabat ribuan hektar hutan bakau, nelayan kecil justru ditangkap.
Perspektif Organisasi dan Saran Penyelesaian
Menurut Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), konflik-konflik ini sudah berlangsung puluhan tahun dan mencakup masalah alat tangkap, konversi lahan, hingga pencemaran laut. Ia menyarankan agar Kementerian Kelautan dan Perikanan fokus pada peningkatan kesejahteraan nelayan daripada hanya menargetkan produksi ikan.
Belajar dari Aceh
Aceh memiliki hukum adat laut yang melarang penggunaan pukat harimau. Namun, meski dilarang, alat ini masih beroperasi di wilayah pantai timur dan barat Aceh. Konflik sering terjadi, dengan serangan terhadap pukat trawl yang dikelola oleh nelayan setempat. Dalam insiden terbaru, lima nelayan trawl di Nagan Raya ditahan, sementara pemilik kapal tetap bebas.
Baca juga:
Penggunaan pukat harimau terus memicu konflik di perairan Sumatera Utara. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kebijakan yang adil dan penegakan hukum yang konsisten. Perlindungan terhadap nelayan tradisional dan lingkungan harus menjadi prioritas utama.