Terhitung 1 Januari 2010 UE tolak produk perikanan hasil praktek-praktek Illegal Fishing melalui aturan Catch Certification
Perang terhadap IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) Fishing tidak hanya diteriakkan oleh negara-negara yang menjadi ‘korban’ dari praktek penangkapan ilegal, tetapi juga diserukan oleh komisi Uni Eropa (UE). Terhitung mulai 1 Januari 2010, komisi UE akan memberlakukan sebuah peraturan baru, akan menolak semua produk perikanan yang ditangkap melalui praktek-praktek Illegal Fishing. Dengan kata lain, hanya produk perikanan yang ditangkap dengan cara-cara yang legal yang akan diperbolehkan masuk ke salah satu pasar produk perikanan terbesar di dunia ini.
“Peraturan tersebut berlaku bagi semua negara yang mengekspor produk perikanannya ke pasar UE. Dan mereka juga sudah mensosialisasikan peraturan tersebut kepada kita (Indonesia – red),” ujar Aji Sularso, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Menurutnya, peraturan baru yang dikeluarkan oleh komisi UE ini merupakan bentuk implementasi dari diberlakukannya traceability (sistem ketelusuran) bagi produk pangan, terutama untuk produk-produk perikanan yang dihasilkan melalui proses penangkapan. “Traceability tersebut diimplementasikan dalam sebuah peraturan yang disebut catch certification (sertifikasi hasil tangkapan). Sertifikat itulah yang akan digunakan sebagai jaminan bahwa ikan-ikan hasil tangkapan tersebut tidak diperoleh dengan cara-cara yang ilegal,” jelas Aji.
Setiap ikan hasil tangkapan yang akan diekspor ke UE, harus tercatat secara rinci mulai dari lokasi penangkapannya sampai pada proses pengolahannya. “Teknisnya nanti akan ada beberapa formulir yang harus diisi dan dilengkapi oleh petugas pencatatan di kapal.”
Syarat lainnya, Aji menambahkan, setiap kapal penangkap yang akan mengekspor produknya ke pasar UE harus memiliki izin resmi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwewenang. “Jadi untuk kapal-kapal ikan yang tidak berizin tidak akan diperbolehkan untuk mengekspor produknya ke UE,” tegasnya. Hasil tangkapan yang tidak dilaporkan juga tidak akan diperbolehkan memasuki pasar UE.
Selain untuk menjamin traceability dari dari produk hasil tangkapan, diterbitkannya aturan tersebut juga bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yang ada di lautan. Aturan itu sendiri akan resmi diberlakukan mulai 1 Januari 2010. “Selama tahun 2009, Indonesia diberi kesempatan oleh pihak UE untuk mensosialisasikan peraturan ini kepada seluruh stakeholders,” sebut Aji.
Menguntungkan Indonesia
Terbitnya aturan komisi UE yang menyatakan ‘perang’ terhadap produk-produk perikanan yang dihasilkan melalui praktek penangkapan ilegal, dinilai positif oleh Aji. Terlebih dengan status Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi “korban” dari praktek-praktek Illegal Fishing. “Ini akan sangat menguntungkan bagi kita. Paling tidak peraturan tersebut bisa membantu kita dalam memberantas praktek-praktek Illegal Fishing di tanah air,” ujar Aji.
Pendapat senada diungkapkan oleh Arief Satria, Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurutnya, gerakan anti IUU Fishing yang dilakukan oleh UE akan membawa berkah tersendiri bagi bangsa Indonesia. “Berkahnya adalah, karena wilayah laut Indonesia masih menjadi objek pencurian ikan,” demikian ditulis Arif Satria dalam sebuah artikel yang dimuat pada sebuah media massa. Aturan tersebut tentu akan berkorelasi positif terhadap upaya pemerintah Indonesia dalam memberantas praktek Illegal Fishing. Dia juga mengakui, saat ini komisi UE memang yang paling gencar menyuarakan perang terhadap Illegal Fishing, karena 9% produk perikanan yang masuk ke wilayahnya berasal dari praktek-praktek IUU Fishing.
Tak hanya berkorelasi positif terhadap upaya pemerintah dalam memberantas praktek Illegal Fishing, Aji menambahkan, peraturan yang dikeluarkan oleh UE ini juga akan memberikan keuntungan bagi industri penangkapan dan pengolahan ikan di tanah air. Pasalnya, aturan tersebut akan menghambat pemasaran bagi negara-negara produsen “ikan kaleng” yang menjadi pesaing Indonesia di pasar UE, seperti Thailand dan Filiphina.
“Thailand dan Filiphina merupakan produsen ikan kaleng dan pengolah tuna terbesar. Mereka mengakui jika 70% dari bahan baku tersebut ditangkap dari perairan Indonesia. Baik secara legal maupun ilegal. Perusahaan pengolah yang menggunakan bahan baku ikan ilegal ini tak bakal bisa berkelit dari embargo UE. Dan ini merupakan peluang bagi industri pengolahan ikan Indonesia untuk mengisi kuota yang kosong tersebut,” jelas Aji.
Peluang ini juga diakui oleh Eddy Yuwono, ketua Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN) untuk wilayah Jakarta, “Dengan adanya aturan tersebut indusri penangkapan Indonesia memang diuntungkan, terutama bagi perusahaan yang menangkap dan menjual ikan cakalang ke pasar UE.”
Selengkapnya baca di Majalah Trobos edisi Februari 2009